Pada suatu hari, Ibrahim bin Adham berbincang-bincang dengan salah seorang muridnya dalam tasawuf yang bernama Syaqiq al Bakhi.
Ibrahim lalu bertanya kepada
sangmurid, “apa pekerjaanmu sebelum menjadi muridku ?”
“saya seorang pengusaha dari Balkh, Tapi karena tertarik pada tasawuf
saya tinggalkan bisnis saya” jawab Syaqiq.
Ibrahim bertanya,” kenapa kamu tinggalkan bisnismu kemudian menjadi
pengikutku ?”
“Pada saat menjadi pengusaha, saya selalu dilanda gelisah, resah, dan merasa
dalam kondisi ketidakpastiaan tentang masa depan usaha saya. Sampai pada suatu ketika saya berada di
daerah padang pasir yang jauh dari keramaian, saya melihat seekor burung yang
jatuh karena sayapnya patah. Maka saya
menjadi terharu, iba dan kasian dan dalam hati berpikir pastilah nantinya
burung itu akan mati karena tidak bisa mencari makan ” Jawab Syaqiq.
“tidak lama kemudian tiba-tiba
datang seekor burung lain yang terbang dan menghampiri burung yang patah sayap
tadi, diparuhnya ada makanan, lalu dijatuhkannya makanan itu untuk burung yang
patah tadi lalu terbang lagi. Lanjut Syaqiq.
Dalam benak hati saya berkata” Burung yang patah sayap saja masih
mendapat makanan dan bisa melanjutkan hidupnya dalam kondisi apapun, tentu
manusia lebih dari itu.” Terang Syaqiq lagi.
Ibrahim pun langsung menjawab “ Syaqiq, mengapa engkau hanya berpikir
menjadi burung yang patah sayap itu, sementara engkau tidak berpikir untuk menjadi
burung yang terbang dan memberikan makanan kepada sesamanya yang kelaparan dan
membutuhkan”.
Sang guru pun memberi nasihat “ seharusnya engkau
berusaha menjadi burung yang memberikan makanan itu, sebab umat islam
dianjurkan menjadi umat yang produktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar