Suatu hari datang kehadapan khalifah
Umar seorang pembunuh dengan maksud menyerahkan dirinya untuk diadili, karena
telah membunuh seorang muslim. Pengadilan
pun digelar untuk menentukan hukuman yang akan dijatuhkan. Setelah itu si pembunuh tersebut akhirnya
mendapat vonis hukuman qisas.
Sebelum hukuman dilaksanakan,
khalifah Umar bertanya kepada terhukum apa permintaan terakhirnya?
“Ijinkan saya pulang kekampung
halaman saya. Saya hendak berpamitan kepada
seluruh keluarga saya serta membayar hutang-hutang saya”, kata terhukum.
Khalifah Umar mengabulkan
permohonan terhukum karena masuk akal dan bisa diterima secara hukum. Namun, karena kampung halaman terhukum letaknya
cukup jauh, maka untuk meyakinkan dan memastikan dia harus mempunyai seorang penjamin
yang akan menggantikan posisinya, yaitu di qisas, di khawatirkan nantinya kalau
saja sampai si terhukum melarikan diri.
Lelaki terhukum pun bingung, “siapa
yang akan menggantikan diri saya sebagai penjamin, sebab saya tidak mempunyai satu
kelurgapun dikota ini” pikirnya dalam hati.
Dengan pandangan sedih, dia menatap kerumunan orang yang hadir disitu.
Sesaat tidak ada suara. Dan suasana pun menjadi hening seketika. Namun tidak lama kemudian, keluarlah seorang
lelaki paruh baya dari kerumunan orang.
Lelaki itu sudah tidak asing lagi di mata para hadirin, dia adalah Abu
Dzar Al Gifari, salah satu sahabat Rasul.
“Saya siap jadi penjamin” kata Abu
Dzar Al Gifari memecah keheningan suasana.
Kemudian Abu Dzar Al Gifari menandatangani surat perjanjian
penjaminan. Baru setelah itu, terhukum
diperbolehkan pulang kampung selama tujuh hari.
Namun apa yang terjadi kemudian.....?
Waktu berganti waktu, siang berganti malam, malam berganti siang, hari berganti
hari, Sampailah pada hari yang telah ditentukan, akan tetapi terhukum belum juga
tiba. Orang-orang mulai panik dan ramai.
Bahkan banyak yang menangis terisak-isak melihat Abu Dzar Al Gifari yang sama
sekali tidak bersalah terlentang di papan eksekusi, siap dipenggal lehernya
sebagai penjamin. Sungguh amat
disayangkan memang. Semua mata
menunduk. Sementara banyak suara yang
menghujat lelaki terhukum, sebagai orang yang tidak memiliki harga diri. Suasanapun menjadi riuh tidak terkenali.
“ tunggu !!,” tiba-tiba terdengar
suara dari kejauhan. Nampak seorang lelaki berjalan sempoyongan dengan baju
lusuh bercampur keringat debu. Ternyata
si terhukum. Karena terhukum sudah
datang maka Abu Dzar Al Gifari kemudian dibebaskan.
Hakim kemudian bertanya kepada
terhukum, “mengapa kamu kembali ke madinah, padahal kamu dapat melarikan diri
sejauh-jauhnya ?, Toh sudah ada orang yang menjadi penjaminmu ?”.
“ Benar saya bisa melarikan diri
dan bebas dari hukuman, tetapi saya malu jika nanti tercatat dalam sejarah
islam bahwa pernah ada seorang muslim ingkar janji untuk kepentingan dirinya, dan
tidak mau menjaga harga diri sebagai muslim yang bertanggungjawab “. jawab
lelaki itu.
Dalam kesempatan itu tidak
ketinggalan hadir tiga anggota keluarga korban.
Awalnya mereka geram dan gembira bahwa pembunuh itu akan dihukum, namun
setelah mendengar pengakuan yang tulus dari si terhukum, mereka menarik kembali
tuntutannya kepada dewan hakim, mereka menyatakan “kami anggota keluarga dari
korban telah memaafkan orang ini”. Dan
dewan hakimpun mengabulkannya. Dan tentu
saja Si terhukum pun menerimanya dengan sangat gembira karena bebas dari
hukuman qisas.
Hakim kemudian bertanya kepada
mereka “ mengapa kalian mencabut tuntutan hukuman orang ini, dan dengan mudah
memaafkannya, padahal ia telah membunuh saudaramu ?”.
“ Tuan hakim sebagai muslim, kami
punya harga diri. Kami malu jika nanti
dalam sejarah islam ada kejadian seorang muslim yang tidak mau memaafkan
kesalahan saudaranya sesama muslim “, jawab mereka.
Sekarang giliran hakim bertanya
kepada Abu Dzar Al Ghifari. “ Wahai Abu Dzar, mengapa engkau mau menjadi
penjamin lelaki terhukum ini ?, Padahal engkau tidak mengenal sama sekali dan dia
juga bukan keluargamu yang patut ditolong “.
“ Karena saya punya harga diri
sebagai muslim, saya malu jika nanti sejarah islam mencatat ada seorang muslim
yang sedang dalam kesulitan meminta jaminan tetapi tidak ada yang mau
menolongnya “, jawab Abu Dzar Al Ghifari.
Maha besar Allah. Begitulah muslim sejati. Muslim yang menjunjung tinggi harga dirinya. Muslim yang malu jika ada saudaranya yang
disakiti, muslim yang malu jika ada saudaranya yang minta tolong tapi tidak mau
menolongnya, dan muslim yang malu jika tidak mampu memaafkan kesalahan saudaranya
sesama muslim. Sebab harga diri seorang
muslim tidak dilihat dari kesalahannya, pangkatnya, tetapi dari keimanannya dan
ketaqwaannya kepada Allah swt.
Mari kita jaga harga diri kita
sebagai muslim sejati, jangan sampai tercoreng citra Islam apalagi hal itu
disebabkan oleh kita sendiri.