Selasa, 26 Januari 2016

Ambisi Kepada Kedudukan



Sudah lumrah bagi kita jika melihat ada orang yang begitu berambisi mengejar jabatan atau kedudukan sehingga berbagai cara mereka tempuh untuk mewujudkan ambisinya itu.
Yang nampak terlihat tidak saja ambisi untuk menjadi pemimpin kepala daerah tapi sampai kepada kepala desa, malah sampai ke level terendah sekalipun seperti ketua RT. Ini dapat kita lihat tidak saja pada sistem pemerintahan akan tetapi juga pada sistem jabatan non pemerintah seperti perusahaan swasta dan lain-lain.
Ambisi ini semua berangkat dari niatan duniawi semata.
Dari Abu Sa'id Abdurrahman bin Samurah RA., ia berkata, Rasulullah SAW. berkata kepadaku, wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan kepemimpinan, jika jabatan tersebut diberikan bukan karena permintaanmu, engkau akan dibantu dalam melaksanakannya. Namun jika engkau diberikan karena memintanya, jabatan tersebut sepenuhnya akan dibebankan kepadamu.” (HR Al-Bukhari)
Dari Abu Dzar RA., ia berkata, Ya Rasulullah, tidakkah engkau mengangkat ku menjadi pegawai ?, lalu beliau menghentakan kedua pundakku, kemudian berkata wahai Abu Dzar ,sesungguhnya engkau itu lemah, sedangkan ini adalah amanah. sesungguhnya jabatan ini pada hari kiamat nanti akan menghinakan dan menimbulkan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya sesuai dengan haknya dan melaksanakan kewajiban atasnya". (HR Muslim).
Orang yang meminta kependudukan jangan dipilih untuk mendudukinya, jika tidak punya kompetensi untuk menjalaninya. Orang yang paling berhak menduduki suatu jabatan adalah orang yang punya kemampuan, kemauan dan kemahiran untuk menjalaninya.
Sebuah kedudukan atau jabatan adalah sebuah kepercayaan dan tanggung jawab yang besar, sehingga siapa saja yang diberikan amanah dan tanggung jawab harus menjalankan sebaik-baiknya dan tidak boleh menghianati janjinya dihadapan Allah SWT.

Dari Abu Hurairah RA, Rasullullah SAW bersabda “sungguh kalian akan berambisi untuk meraih kepemimpinan (kedudukan) dan kelak akan menyesal di hari kiamat nanti". (HR Al-Bukhari).

Selasa, 05 Januari 2016

Kisah Seorang Ayah dan Anak dengan Seekor Keledainya

Kisah yang sangat menarik, yang patut untuk dibagikan kembali kepada sahabat sekalian.
Mari kita simak bersama sama.
Dikisahkan pada zaman dahulu kala ada seorang Ayah dan Anak melakukan perjalanan dengan Seekor Keledainya. Karena ukuran keledai mereka kecil apalagi bila dibandingkan dengan seekor kuda maka di awal perjalanan si anak yang menaiki keledainya, sedangkan ayahnya berjalan disampingnya sambil menuntun keledai itu.
Tanpa terasa sampailah mereka di sebuah pasar dan melewati kerumunan banyak orang yang sibuk dengan kegiatannya masing masing. Tapi diantara banyak orang tersebut ada salah satunya yang memperhatikan mereka, dan orang itu berkata "Lihat, lihatlah contoh anak yang durhaka, si ayah disuruhnya berjalan sementara ia asyik menaiki keledainya!" mendengar perkataan orang tersebut si anak tidak mau dianggap sebagai anak yang durhaka yang tidak berbakti kepada orangtua, maka si anakpun berkata, "Ayahku, lebih baik ayah saja yang duduk disini biarlah aku yang berjalan menggantikan ayah". 
Setelah bertukar posisi akhirnya merekapun melanjutkan perjalanan. Selang beberapa waktu kemudian mereka kembali menjumpai sekumpulan ibu-ibu yang sedang mencuci di sungai yang menatap dengan pandangan penuh benci dan sinis. Akhirnya salah satu dari mereka berkata, "Lihatlah, Ayah yang kejam, dia tega menaiki keledainya sementara anaknya disuruh berjalan!".  mendengar perkataan orang tersebut si ayah tidak mau dikatakan ayah yang kejam dan tega, yang tidak berperasaan. si ayah langsung turun dari punggung keledai tersebut dan berkatalah si Ayah kepada Anaknya, "Nak lebih baik kita tidak usah menaiki keledai ini mungkin kita tuntun saja".
Hasil gambar untuk gambar anak dan ayah membawa keledai
Setelah melanjutkan perjalanan beberapa saat merekapun berpapasan dengan seorang pria. Pria itupun menatap dengan heran dan bertanya, "Apakah kalian menuntunnya dari rumah sampai tujuan? alangkah bodohnya kalian mengapa kalian tidak menaiki keledai ini, tampaknya ia cukup kuat". Si ayah dan anakpun terdiam karena perkataan pria itu memang benar dan memojokkan mereka berdua. Demi mendengar perkataan pria tersebut sang ayah memutuskan kepada anaknya, “Nak lebih baik kita naik bersama sama saja ya..”. 
Merekapun menaiki keledai bersama sama. Kemudian merekapun melewati sebuah perkampungan, bertemulah mereka dengan sekumpulan orang yang sedang minum di sebuah kedai dipinggir jalan. Terdengar jelas suara orang yang minum di kedai tersebut membicarakan mereka, "Alangkah kejamnya mereka! keledai itu mereka naiki berdua!". Demi mendengar perkataan orang orang di kedai tersebut si ayah dengan ragu ragu berkata kepada anaknya ““Nak, bagaimana kalau kita angkat berdua saja keledai ini ya…”. 
dengan susah payah merekapun mengangkat keledai sampai ketempat tujuan. Setibanya, salah seorang dari kerabat mereka berkata, "Apakah kalian mengangkatnya dari rumah sampai kesini?...sungguh gila kalian, mau-maunya kalian menyiksa diri mengangkatnya padahal keledai itu adalah hewan yang berfungsi dan digunakan untuk mengantarmu kemana pun.
Bagaimana? menarik bukan?. begitulah kisah tersebut berakhir. Dan apa yang terbesit dalam pikiran sahabat sekalian. Apakah sama apa yang kita pikirkan untuk menyikapi kejadian dalam kisah tersebut. Seandainya kita berada dalam kisah tersebut apa yang akan kita perbuat? Apakah sahabat sekalian akan sama dengan ayah dan anak tadi dalam mengambil tindakan dan keputusan? Ataukah sahabat sekalian akan memberikan warna kisah yang berbeda?. Kiranya cukup kita kembalikan kepada diri pribadi kita masing masing untuk menentukan mana yang baik dan mana yang harus di ambil tindakan atau keputusan.
Salam untuk sahabat sekalian yang sama sama sudah dewasa dalam bertindak, berucap dan berperilaku. Selama apa yang kita lakukan itu diiringi niat baik, keikhlasan dan tidak melanggar syari'at, maka omongan orang tentang apa yang kita perbuat tidak usah diambil hati dan tidak perlu khawatir. Bahkan jangan sampai omongan negatif orang pada kita mendorong kita menjadi malas melakukan pekerjaan, minder / rendah diri, tidak bersemangat lagi dan mendorong kita melakukan hal-hal yang tidak terpuji lainnya. jadikan semua itu sebagai batu ujian yang bisa kita jadikan pijakan untuk melangkah lebih jauh lagi.  Kalaupun khawatir, khawatirlah  jika yang kita lakukan itu jelek dimata Allah dan mengundang murka Allah.